Ngeri, Tradisi Mencabik Mayat Warga Banjar Buruan, Desa Tampaksiring Bali



Venus-ID.blogspot.com - Tradisi yang cukup ekstrem dan seram masih berlaku di salah satu desa Tampaksiring, Gianyar. Bagi masyarakat awam yang tak mengetahui dan baru melihat akan merasakan kepiluan bila melihat tradisi mencabik mayat (Mebes bangke) yang dilakukan oleh warga di desa Tampaksiring.

“Mayat yang tengah digarap (istilah proses pencabikan) itu dicabik‐cabik oleh warga menggunakan gigi, ada juga pakai tangan. Setelah tiba di sungai dekat kuburan, pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan. Dibawa lari ke sana‐sini. Setelah capek, barulah mayat dikremasi," ujar Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan I Ketut Darta, usai tradisi ngarap mayat di banjarnya seperti dikutip tribunnews.com, Minggu (30/11) lalu.

Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar ini mengungkapkan, pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.

"Di sini ada sistem ngaben kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang meninggal itu dikubur. Tapi kan itu juga harus sesuai dengan hari baik. Kalau tidak ada hari baik untuk mengubur mayat, maka harus ngaben langsung atau ngaben pribadi. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi ngarap dijalankan," jelasnya.

Ketut Darta menjelaskan, tidak ada sastra tertulis yang menyebutkan tentang keberadaan tradisi ini. Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruan, tradisi ini muncul karena pada zaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan. Dengan kodisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat itu. "Agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat)," ucap pensiunan guru SDN 4 Tampaksiring itu.

Kelian yang menjabat sejak tahun 2009 ini menuturkan, saat ngarap warga tidak memandang stratifikasi sosial. Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama.

"Tapi kalau pemangku atau sulinggih, kami pergunakan suatu taktik supaya warga tidak ngarap. Taktinya adalah menggelar ritual mekingsan ring gni. Kalau tidak begitu bisa runyam masalahnya," katanya.

Dartha menyebut, yang boleh ikut dalam tradisi ngarak ini hanya warga setempat. Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya fatal, secara tidak sadar massa akan mengeroyok orang itu.

Sebelumnya, tahun 1980‐an, tradisi ngarak ini, mayat sampai dikeluarkan dari kaputnya. Namun, kini tradisi ngarak sudah sedikit tidak terlau ekstrem. Untuk mengantisipasi hal itu lagi, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Di antaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm, dan dikaput lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.

"Pengaputan ini juga untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu sewaktu
masih hidup, mayat itu punya penyakit menular," kata Dartha.
Pro dan kontra pun bermunculan.

Bagaimana menurut kamu, apakah tradisi ini harus tetap dilestarikan ataukah harus dihentikan?

Sumber: kaskus Xenology
Previous
Next Post »

3 komentar

Write komentar
Unknown
AUTHOR
6 Agustus 2016 pukul 01.02 delete

wih masih ada nih tradisi lama dan masih berjalan sampai sekarang ngeri banget bacanya.
nice info gan.

Reply
avatar
Azi Satria
AUTHOR
6 Agustus 2016 pukul 01.06 delete

iya sob, tapi serba salah jadinya. kalo dilestarikan ya nggak berperikemanusiaan, kalau ditinggalkan ya malah disebut gak sayang sama tradisi sendiri

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
8 Agustus 2016 pukul 05.54 delete

ngeri juga ya masak mayat manusia di gituin tapi mau gimana lagi itu juga tradisi turun temurun hehe

Reply
avatar